07.38
0
A. Tanah Entisol
Tanah Entisol merupakan tanah yang relatif kurang menguntungkan untuk pertumbuhan tanaman, sehingga perlu upaya untuk meningkatkan produktivitasnya dengan jalan pemupukan. Sistem pertanian konvensional selama ini menggunakan pupuk kimia dan pestisida yang makin tinggi takarannya. Peningkatan takaran ini menyebabkan terakumulasinya hara yang berasal dari pupuk/pestisida di perairan maupun air tanah, sehingga mengakibatkan terjadinya pencemaran lingkungan. Tanah sendiri juga akan mengalami kejenuhan dan kerusakan akibat masukan teknologi tinggi tersebut. Atas latar belakang tersebut mulai dikembangkan sistem pertanian organik yang dahulu telah lama dilakukan oleh nenek moyang kita. Beberapa petani di Sleman dan Magelang telah melakukannya, sementara yang lain belum tertarik karena belum mengetahui manfaatnya terutama terhadap perbaikan sifat tanah (Foth, 1994).
Pada umumnya kandungan BO rendah sehingga memerlukan input yang cukup tinggi. Daerah penyebarannya di daerah tipe Afa-ama (menurut K Koppen). Menurut Schimidt Ferguson pada tipe hujan A, B, dan C dengan curah hujan 2000-7000 m/th, tanpa mempunyai bulan kering yang kurang dari 3 bulan. Tanah ini terletak di daerah abutuf dan vulkan, pada ketinggian 10-10.000 m dpl    (Sarief, 1985). 
Tanah regosol/entisol tidak ditentukan oleh iklim atau pembentukan tanah khusus, tetapi oleh sifat bahan induknya. Tanah ini biasa dijumpai pada lereng yang curam, perkembangannya lemah umumnya kurang berarti untuk pertanian. Tanah ini terdapat di atas endapan mineral lunak yang dalam dan tidak berbatu besar, sebagian besar didaerah gumuk loess dan glasial yang lerengnya curam (Buckman, 1982).
Di Indonesia tanah Entisol banyak diusahakan untuk areal persawahan baik sawah teknis maupun tadah hujan pada daerah dataran rendah. Tanah ini mempunyai konsistensi lepas-lepas, tingkat agregasi rendah, peka terhadap erosi dan kandungan hara tersediakan rendah.Potensi tanah yang berasal dari abu vulkan ini kaya akan hara tetapi belum tersedia, pelapukan akan dipercepat bila terdapat cukup aktivitas bahan organik sebagai penyedia asam-asam organik  (Tan, 1986).

B. Tanah Inceptisol
Inceptisols adalah tanah yang belum matang (immature) dengan perkembangan profil  yang  lebih  lemah  dibanding  dengan  tanah  matang,  dan  masih  banyak menyerupai sifat bahan induknya. Penggunaan Inceptisolss untuk pertanian atau nonpertanian adalah beraneka ragam. Daerah-daerah yang berlereng curam atau hutan, rekreasi atau wildlife, yang berdrainase buruk hanya untuk tanaman pertanian setelah drainase diperbaiki (Hardjowigeno, 1993).
Salah satu penciri terpenting bagi inceptisol adalah ditemukannya horizon kambik pada kedalaman kurang lebih 100 cm. Apabila horizon kambik tidak ditemukan, tanah dapat diklasifikasikan juga sebagai inceptisol bila mempunyai horizon klasik, petroklasik, duripan. Apabila tidak diketemukan horizon maka tanah tersebut bukan termasuk dalam ciri-ciri inceptisol (Kurnia, 2004).
Inceptisols yang banyak dijumpai pada tanah sawah memerlukan masukan yang tinggi baik untuk masukan anorganik (pemupukan berimbang N, P, dan K) maupun masukan organik  (pencampuran  sisa panen kedalam tanah  saat  pengolahan tanah, pemberian pupuk kandang atau pupuk hijau) terutama bila tanah sawah dipersiapkan untuk tanaman palawija setelah padi. Kisaran kadar C-Organik dan kapasitas pertukaran kation  (KPK)  dalam  Inceptisols  dapat  terbentuk  hampir  di  semua  tampat,  kecuali daerah kering, mulai dari kutub sampai tropika 
(Munir, 1996).
Inceptisols dapat dibedakan berdasarkan great groupnya. Salah satu great group dari Inceptisols adalah Tropaquepts. Tropaquepts adalah great group dari ordo tanah Inceptisols dengan subordo Aquept  yang memiliki regim suhu tanah isomesik atau lebih panas.  Aquept  merupakan tanah-tanah  yang  mempunyai rasio  natrium dapat tukar (ESP) sebesar 15 persen atau lebih (atau rasio adsorpsi natrium, (SAR) sebesar 13 persen atau lebih pada setengah atau lebih volume tanah di dalam 50 cm dari permukaan tanah mineral, penurunan nilai ESP (atau SAR) mengikuti peningkatan kedalaman  yang  berada  di  bawah  50  cm,  dan  air  tanah  di  dalam  100  cm  dari permukaan tanah mineral (Foth, 1991).
Inceptisols adalah tanah-tanah yang kecuali dapat memilki epipedon okrik dan horizon albik seperti yang dimilki tanah Entisols juga mempunyai beberapa sifat penciri lain (misalnya horizon kambik) tetapi belum memenuhi syarat bagi ordo tanah yang lain. Beberapa Inceptisols terdapat dalam keseimbangan dengan lingkungan dan tidak akan matang bila lingkungan tidak berubah. Beberapa Inceptisols yang lain telah dapat diduga arah perkembangannya apakah ke ultisols, Alfisols, atau tanah-tanah yang lain (Hardjowigeno, 2003).
Salah satu penciri terpenting bagi Inceptisols adalah ditemukannya horizon kambik pada kedalaman kurang lebih 100 cm. Apabila horizon kambik tidak ditemukan, tanah dapat diklasifikasikan juga sebagai Inceptisols bila mempunyai horizon klasik, petroklasik, duripan. Apabila tidak diketemukan horizon maka tanah tersebut bukan termasuk dalam ciri-ciri Inceptisols (Munir, M.1996).

C. Tanah Alfisol
Tanah Alfiols adalah tanah dimana terdapat penimbunan liat dihorison bawah (argilik) dan mempunyai kejenuhan basa (berdasarkan jumlah kation) yang tertinggi yaitu lebih dari 35% pada kedalaman 150 cm dari permukaan tanah. Liat yang tertimbun dari horison bawah ini berasal dari horison diatasnya dan tercuci ke bawah bersama dengan gerakan air (Hardjowigeno, 2003).
Alfisol ditemukan banyak di zona iklim, tetapi yang utama adalah di daerah beriklim sedang yang bersifat humid atau subhumid, dengan bahan induk relative muda dan stabil paling sedikit selama beberapa ribu tahun. Oleh karena itu, alfisol adalah tanah yang relative muda, masih banyak mengandung mineral tanah yang mudah lapuk, mineral liat Kristal ini kaya akan unsure hara (Darmawijaya, 1997).
Alfisol merupakan tanah yang relatif muda masih banyak mengandung mineral primer yang mudah lapuk, mineral liat kristalin dan kaya unsur hara. Tanah ini mempunyai kejenuhan basa tinggi, KTK dan cadangan unsur hara tinggi. Alfisol merupakan tanah-tanah dimana terdapat penimbunan liat di horison bawah. Liat yang tertimbun di horison bawah ini berasal dari horison diatasnya dan tercuci kebawah bersama gerakan air perkolasi (Foth, H. D.1994).
Daya menahan air dan permeabilitas sedang, kepekaan terhadap erosi sedang sampai besar, serta air pada keadaan ini merupakan faktor pembatas secara umum sifat fisiknya sedang sampai baik, sifat kimianya baik, sehingga nilai prokduktivitas tanahnya sedang samapai tinggi. Pada umumnya Alfisols adalah tanah yang sangat produktif. kandungan basa yang sedang sampai yang besar itu umumnya menghasilkan tanaman yang cukup besar (Bailey, 1986).

D. Tekstur Tanah
Tekstur tanah merupakan perbandingan antara fraksi atau partikel primer tanah yang berupa pasir ( sand ), debu ( silt ), dan lempung ( clay ). Tekstur tanah termasuk salah satu sifat fisika tanah yang dalam suatu jenis tanah termasuk sulit mengalami perubahan, karena untuk merubah perbandingan salah satu fraksi tanah dibutuhkan waktu yang sangat lama. Hal ini disebabkan untuk membetuk suatu fraksi tunggal tanah dibutuhkan lima factor, yaitu bahan induk, organisme, topografi, iklim, dan waktu
( S. Minardi, et al, 2010).
Tekstur Tanah memilik hubungan dengan Daya Menahan Air dan Ketersediaan Hara dalam tanah. Tanah bertekstur liat mempunyai luas permukaan yasng lebih besar sehingga kemampuan menahan air dan menyediakan unsur hara tinggi. Tanah bertekstur halus lebih aktif dalam reaksi kimia daripada tanah bertekstur kasar. Tanah bertekstur pasir mempunyai luas permukaan yang lebih kecil sehingga sulit menyerap (menahan) air dan unsur hara ( Madjid, 2009 ).
Tanah terasa kasar apabila tanah didominasi pasir, tetapi terasa licin dan lekat sekali  apabila tanah didominasi oleh liat. Pada kedalaman 0-20 cm tekstur tanah agak kasar hingga agak licin atau agak halus (liat berpasir, lempung berliat, lempung liat berpasir dan lempung berdebu). Tanah basah dipirit terasa agak kasar hingga licin agak kasar. Pada kedalaman 20-40 cm tekstur tanah agak halus sampai halus (liat berdebu dan liat), agak licin sampai licin dan lekat sekali (Wijanarko, 2007).

E. Struktur Tanah
Struktur tanah merupakan gumpalan kecil dari butir-butir tanah. Gumpalan struktur tanah ini terjadi karena butir-butir pasir, debu, dan liat terikat satu sama lain oleh suatu perekat seperti bahan organik, oksida-oksida besi, dan lain-lain. Gumpalan-gumpalan kecil (struktur tanah) ini mempunyai bentuk, ukuran, dan kemantapan (ketahanan) yang berbeda-beda ( Madjid, 2009 ).
Struktur tanah bisa dipastikan sebagai jarak yang terlibat organisasi mineral tanah dan partikel organik, dan jarak pori, atau sebagai jarak yang bermacam-macam dari komponen yang berbeda atau properti tanah. Struktur tanah sangat penting untuk fungsi tanah seperti mempengaruhi pengaturan air, infiltrasi, aerasi, penyerapan dan penahanan nutrisi, dan aktivitas mikrobia (Sutono, 2009).
Salah satu masalah tanah dalam pengolahan tanah adalah menentukan mana yang disebut struktur yang baik dan yang jelek. Ada yang percaya bahwa srtuktur tanah yang lepas lebih baik dari pada struktur yang lebih padat, sehingga hanya ada satu kesimpulan bahwa pembajakan menghasilkan struktur yang lebih baik daripada tanpa pengolahan tanah (Manik et al, 1998).
Bobot isi tanah merupakan kerapatan tanah per satuan volume yang dinyatakan dalam dua batasan. (1) Kerapatan partikel (bobot partikel = BP) adalah bobot massa partikel padat per satuan volume tanah, biasanya tanah mempunyai kerapatan partikel 2,6 gram cm-3, dan (2) Kerapatan massa (bobot isi = BI) adalah bobot massa tanah kondisi lapangan yang dikering-ovenkan per satuan volume ( Hanafiah, 2005 ).

F. Lengas Tanah
Tanah adalah produk transformasi mineral dan bahan organik yang terletak di permukaan sampai kedalaman tertentu yang dipengaruhi oleh faktor genetis lingkungan, yaitu bahan induk, iklim, organisme hidup (mikroorganisme dan makroorganisme), topografi, dan waktu yang sangat panjang. Tanah dapat dibedakan dari ciri-ciri bahan induk asalnya baik secara fisik, kimia, biologi, maupun morfologinya
(Rodriquez-Iturbe dan Amilcar, 2004).
Bahan organik dalam tanah dapat didefinisikan sebagai sisa-sisa tanaman dan hewan di dalam tanah pada berbagai pelapukan dan terdir dari organisme yang masih hidup ataupun yang sudah mati. Didalam tanah, bahan organik bisa berfungsi dan memperbaiki sifat kimia, fisika, biologi tanah sehingga ada sebagian ahli menyatakan bahwa bahan organik di dalam tanah memiliki fungsi yang tak tergantikan. Tanah dengan kandungan bahan organik tinggi mempunyai kapasitas penyangga yang rendah apabila basah. Kemampuan tanah untuk menyimpan air salah satunya air hujan menentukan juga spesies apa yang tumbuh. Kadar lengas merupakan salah satu sifat fisika tanah untuk mengetahui kemampuan penyerapan air dan ketersediaan hara pada setiap jenis tanaman
(Sutanto, 2005).
Tanah memiliki kualitas yang berbeda disetiap wilayah. Pada tahun 1994 Soil Science Society of America (SSSA) telah mendefinisikan kualitas tanah sebagai kemampuan tanah untuk menampilkan fungsi-fungsinya dalam penggunaan lahan atau ekosistem untuk menopang produktivitas biologis, mempertahankan kualitas lingkungan, dan meningkatkan kesehatan manusia, hewan, dan tumbuhan (Agehara dan Wameke, 2005).
Kadar lengas tanah sering disebut sebagai kandungan air (moisture) yang terdapat dalam pori tanah. Satuan untuk menyatakan kadar lengas tanah dapat berupa persen berat atau persen volume. Berkaitan dengan istilah air dalam tanah, secara umum dikenal 3 jenis, yaitu:
a. Lengas tanah (soil moisture) adalah air dalam bentuk campuran gas (uap air) dan cairan.
b. Air tanah (soil water) yaitu air dalam bentuk cair dalam tanah, sampai lapisan kedap air.
c. Air tanah dalam (ground water) yaitu lapisan air tanah kontinu yang berada ditanah bagian dalam (Handayani, 2009).

G. Konsistensi Tanah
Konsistensi tanah menunjukkan integrasi antara kekuatan daya kohesi butir-butir tanah dengan daya adhesi butir-butir tanah dengan benda lain. Keadaan tersebut ditunjukkan dari daya tahan tanah terhadap gaya yang akan mengubah bentuk. Gaya yang akan mengubah bentuk tersebut misalnya pencangkulan, pembajakan, dan penggaruan. Tanah-tanah yang mempunyai konsistensi baik umumnya mudah diolah dan tidak melekat pada alat pengolah tanah ( Hardjowigeno, 1992 ).
Penetapan konsistensi tanah dapat dilakukan dalam tiga kondisi, yaitu: basah, lembab, dan kering. Konsistensi basah merupakan penetapan konsistensi tanah pada kondisi kadar air tanah di atas kapasitas lapang (field cappacity). Konsistensi lembab merupakan penetapan konsistensi tanah pada kondisi kadar air tanah sekitar kapasitas lapang. Konsistensi kering merupakan penetapan konsistensi tanah pada kondisi kadar air tanah kering udara ( Madjid, 2009 ).
Kosistensi dipengaruhi oleh sifat- sifat tanah lainnya, yaitu tekstur tanah, kadar bahan organik tanah, kadar koloid tanah, sifat atau jenis koloid tanah, dan khususnya kelengasaan tanah. Tanah yang mengandung lempung tinggi, kandungan bahan organik tinggi, dan mengandung silikat akan bersifat lebih plastis. Sedangkan tanah yang pasiran- sesquioksida lebih lemah sifat plastisitasnya ( S. Minardi, et al, 2010).

H. pH Tanah
pH tanah menunjukkan derajat keasaman tanah atau keseimbangan antara konsentrasi H+ dan OH- dalam larutan tanah. Apabila konsentrasi H+ dalam larutan tanah lebih banyak dari OH- maka suasana larutan tanah menjadi asam, sebalikya bila konsentrasi OH- lebih banyak dari pada konsentrasi H+ maka suasana tanah menjadi basa. pH tanah sangat menentukan pertumbuhan dan produksi tanaman makanan ternak, bahkan berpengaruh pula pada kualitas hijauan makanan ternak. PH tanah yang optimal bagi pertumbuhan kebanyakan tanaman makanana ternak adalah antara 5,6-6,0. Pada tanah pH lebih rendah dari 5.6 pada umumnya pertumbuhan tanaman menjadi terhambat akibat rendahnya ketersediaan unsur hara penting seperti fosfor dan nitrogen. Bila pH lebih rendah dari 4.0 pada umumnya terjadi kenaikan Al3+ dalam larutan tanah yang berdampak secara fisik merusak sistem perakaran, terutama akar-akar muda, sehingga pertumbuhan tanaman menjadiaa terhambat. (Handayani, 2006 )
Hubungan konsentrasi ion H+ dan ion OH- diperhitungkan dengan konsentrasi ion H+ dan dinyatakan dengan istilah pH yaitu yang ekstrim dan yang biasa. Bagi tanah mineral dan jarak antara 2 ekstrim mulai sekitar pH 3,5-10 atau lebih. Perbedaan pH di daerah lembah, nilai terendah sedikit di bawah 5 sedang nilai tertinggi di atas 7 dan di daerah kering, nilai terendah di bawah 7 dan nilai tertinggi sampai kira-kira 9 
(Buckman, 1982).
Tanah latosol sifat-sifat kimianya antara lain :
a. pH 4,5 – 5
b. Zat fosfat dalam tanah laterit mudah bersenyawa dengan unsur besi dan aluminium sehingga sukar dihisap oleh tanah
c. Kadar humusnya mudah menurun karena iklim yang panas dan mudah luntur. Kadar zat kapurnya lambat laun menurun sehingga tanahnya menjadi lebih masam (Kartasapoetra, 1991). 
Pemberian kapur menaikkan kadar pH, kadar Ca, dan beberapa hara lainnya, serta menurunkan Al, kejenuhan Al, juga memperbaiki sifat fisik dan biologi tanah. Pemberian kapur yang menyebabkan sifat dan cirri tanah membaik, meningkatkan produksi tanaman (padi, jagung, kedelai, kacang tanah). Tanah- tanah yang pengapurnya berlebihan menimbulkan masalah- masalah yang merugikan yang berhubungan dengan definisi seng, besi, boron, dan tembaga atau meningkatkan molibaenum (Bailey, 1986).
Kandungan dari pertukaran aluminium sangat tergantung pada pH: polimerisasi dari Al(OH)3  meningkat bersama peningkatan pH dan jumlah pertukaran menurut sebagai hasilnya, meskipun jumlah seluruh Al dalam tanah tidak perlu diubah. Walaupun pengukuran pH pada kenyataannya tidak cukup akurat, kemunduran antara pertukaran aluminium dan pH KCl yang diperhitungkan untuk beberapa jenis tanah (Buurman, 1980).

I. Kapasitas Pertukaran Kation
Salah satu sifat kimia tanah yang terkait erat dengan ketersediaan hara bagi tanaman dan menjadi indikator kesuburan tanah adalah Kapasitas Tukar Kation (KTK) atau Cation Exchangable Cappacity (CEC). KTK merupakan jumlah total kation yang dapat dipertukarkan (cation exchangable) pada permukaan koloid yang bermuatan negatif. Satuan hasil pengukuran KTK adalah milliequivalen kation dalam 100 gram tanah atau me kation per 100 g tanah ( Madjid, 2009 ).
Hasil analisis KTK menunjukkan bahwa pada kedalaman 0-20 cm berstatus sedang hingga sangat tinggi. Demikian juga pada kedalaman 20 – 40 cm status KTK ada pada taraf sedang hingga sangat tinggi. Tanah Alfisol umumnya merupakatn tanah yang cukup subur yang ditunjukkan dengan nilai KTK tanah yang cukup tinggi. Tanah yang mempunyai liat dan bahan organik tinggi akan mempunyai KTK yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanah berpasir dengan bahan organik yang rendah
( Wijanarko, et al, 2007 ).
Faktor yang mempengaruhi suatu kapasitas pertukaran kation sangat beragam, diantaranya yaitu :
1. Tekstur tanah : makin halus tekstur tanah, makin tinggi nilai KPK-nya
2. Macam Koloid : ketidakseragaman lempung dan humus merupakan faktor penting dalam kesuburan
3. Presentase kejenuhan basa
4. Reaksi tanah : pada prinsipnya semakin banyak pH suatu tanah, makin tinggi pula kapasitas tukar kationnya
5. Kadar bahan organik : makin tinggi kadar BO tanah, maka makin tinggi pula KPK-nya (S. Minardi, et al, 2010).

J. Bahan Organik
Bahan organik adalah bagian dari tanah yang merupakan suatu sistem kompleks yang bersumber dari sisa makhluk hidup yang terdapat di dalam tanah yang. Sisa makhluk hidup terus menerus mengalami perubahan bentuk, karena dipengaruhi oleh faktor biologi, fisika, dan kimia. Hasil dari perubahan bentuk tersebut adalah bahan an organic yang siap digunakan tumbuhan (Altieri, 2000).
Bahan organik tanah adalah senyawa organik yang terdapat di dalam tanah. Serasah, fraksi bahan organik ringan, biomassa mikroorganisme merupakan salah satu contohnya. Bahan organik dapat dibedakan menjadi bahan organic terlarut di dalam air, dan bahan organik yang stabil atau humus  (Voroney, 2002)
Binatang biasanya dianggap sebagai penyumbang sekunder setelah tumbuhan. Mereka akan menggunakan bahan ini atau bahan organik sebagai sumber energi. Bentuk kehidupan tertentu terutama cacing tanah, sentripoda atau semut memainkan peranan penting dalam pemindahan sisa tanaman dari permukaan ke dalam tanah (Soepardi, 1979).
Bahan organik berperan penting untuk menciptakan kesuburan tanah. Peranan bahan organik bagi tanah adalah dalam kaitannya dengan perubahan sifat-sifat tanah, yaitu sifat fisik, biologis, dan sifat kimia tanah. Bahan organik merupakan pembentuk granulasi dalam tanah dan sangat penting dalam pembentukan agregat tanah yang stabil. Bahan organik adalah bahan pemantap agregat tanah yang tiada taranya. Melalui penambahan bahan organik, tanah yang tadinya berat menjadi berstruktur remah yang relatif lebih ringan. Pergerakan air secara vertikal atau infiltrasi dapat diperbaiki dan tanah dapat menyerap air lebih cepat sehingga aliran permukaan dan erosi diperkecil. Demikian pula dengan aerasi tanah yang menjadi lebih baik karena ruang pori tanah (porositas) bertambah akibat terbentuknya agregat (Kurnia, 2004).
Jumlah bahan organik di dalam tanah dapat berkurang hingga 35% untuk tanah yang ditanami secara terus menerus dibandingkan dengan tanah yang belum ditanami atau belum dijamah. Untuk mempertahankan kandungan bahan organik tanah agar tidak menurun, diperlukan minimal 8 – 9 ton per ha bahan organik tiap tahunnya (Susanto, 2002).

K. Legin
Sampai saat ini budidaya kedelai umumnya kebanyakan dilakukan di lahan sawah setelah tanaman padi.  Demikian pula halnya dengan di daerah Bali, kedelai sangat jarang dibudidayakan di lahan kering, selain juga produksinya sangat rendah.  Sudaryono (2002) menyatakan bahwa produktivitas kedelai pada lahan kering di tingkat petani  berkisar antara 0,7 ton/ha - 1,0 t/ha. Lebih lanjut Sunarlin (1994) menyatakan bahwa tingkat produksi yang relatif masih rendah ini selain disebabkan faktor varietas juga disebabkan oleh rendahnya kesuburan tanah terutama kadar C-organik, N,P dan K (Sarief, 1995).
Tanah yang subur kaya akan keanekaragaman mikroorganisme, seperti bakteri, aktinomicetes, fungi, protozoa, alga dan virus, serta mengandung lebih dari 100 juta mikroba per gram tanah. Produktivitas dan daya dukung tanah tergantung pada aktivitas mikroba tersebut. Mikroba tanah berperan dalam proses penguraian bahan organik, melepaskan nutrisi ke dalam bentuk yang tersedia bagi tanaman, dan mendegradasi residu toksik. Bioteknologi berbasis mikroba dikembangkan dengan memanfaatkan peran-peran penting mikroba tersebut. Manfaat mikroba tanah dalam usaha pertanian belum disadari sepenuhnya, bahkan sering diposisikan sebagai komponen habitat yang merugikan, karena pandangan umum terhadap mikroba lebih terfokus secara selektif pada mikroba patogen yang menimbulkan penyakit pada tanaman. Padahal sebagian besar spesies mikroba merupakan mikroflora yang bermanfaat, kecuali beberapa jenis spesifik yang dapat menyebabkan penyakit pada tanaman (Sparling, 1998).
Cara pandang positif terhadap mikroba akan membangkitkan minat berpikir tentang potensi mikroba yang belum banyak diketahui. Baru sebagian kecil dari ribuan spesies mikroba yang telah diketahui memiliki manfaat bagi usaha pertanian, seperti bakteri fiksasi N2 udara pada tanaman kacang-kacangan, bakteri dan fungi pelarut fosfat, bakteri dan fungi perombak bahan organik, bakteri, cendawan, dan virus sebagai agensia hayati, serta bakteri yang berperan sebagai agen peningkat pertumbuhan tanaman (plant growth promoting agents) yang menghasilkan berbagai hormon tumbuh, vitamin dan berbagai asam-asam organik yang berperan penting dalam merangsang pertumbuhan bulu-bulu akar. Masih banyak lagi mikroba yang belum teridentifikasi dan diketahui manfaatnya (Saraswati, 2004).
Nitrogen yang diperlukan tanaman kedelai bersumber dari dalam tanah juga dari N atmosfir melalui simbiosis dengan bakteri Rhizobium.  Bakteri ini membentuk bintil akar (nodul) pada akar tanaman kedelai dan dapat menambat N dari udara.  Hasil fiksasi nitrogen ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan N yang diperlukan oleh tanaman kedelai.  Pada fiksasi yang efektif 50-75% dari total kebutuhan tanaman akan nitrogen tersebut dapat dipenuhi (Pasaribu  et al., 1989).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa inokulasi rhizobium pada lahan kering dapat meningkatkan bintil akar dan hasil biji kedelai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan pemberian rhizoplus pada tanaman kedelai varietas Willis dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman seperti jumlah cabang per tanaman, jumlah polong isi per tanaman dan hasil per ha (Rahayu, 2004).


DAFTAR PUSTAKA
Agehara, S and, D.D. Warncke.2005. Soil moisture and temperature effect on nitrogen release from organic nitrogen source. America Journal of Soil Science Society.      
Altieri, Miguel A. 2000. Agroecology:Principles and Strategies for Developing Sustainable Farming System. University of California.
Bailey, Harry H. 1986. Dasar- dasar Ilmu Tanah.. Lampung: Universitas Lampung
Bailey. 1986. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung. Lampung.
Buckman Harry O, Brady Nyle C. 1982. Ilmu tanah. Bharat Karya Aksara. Jakarta.
Buckman, Harry O. 1982. Ilmu Tanah. Jakarta: Bharata Karya Aksara
Buurman, P. 1980. Red Soils in Indonesia. Wageningen: Centre for 
Daniels dan Trappe. 1980. Pengelolaan Tanah Dalam Meningkatkan Produksi Pertanian. Depdikbud UNS. Surakarta.
Darmawijaya, M. Isa. 1997. Klasifikasi Tanah. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Foth, H.D . 1991 . Dasar–Dasar Ilmu Tanah . Gajah Mada University Press. Yogyakarta 
Foth, H.D . 1991. Dasar–Dasar Ilmu Tanah . Gajah Mada University Press. Yogyakarta 
Foth, H.D . 1994 . Dasar – Dasar Ilmu Tanah. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Foth, Henry D. 1978. Fundamentals of Soil Science. New York: John Wiley and Sons, Inc.
Hakim, et al.1986.Dasar-dasar Ilmu Tanah.Universitas Lampung Press. Lampung.
Hanafiah, K. A. 2005. Dasar – Dasar Ilmu Tanah. Divisi Buku Perguruan Tinggi. P.T. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Handayani, S. 2009. Panduan Praktikum dan Bahan Asistensi Dasar-dasar Ilmu    Tanah. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada
Handayani. 2006. Pengaruh Jenis Tanah Terhadap Pertumbuhan Tanaman. Bumiaksara. Surabaya.
Hardjowigeno, S. 1992. Ilmu Tanah. Edisi ketiga. PT. Mediyatama Sarana Perkasa. Jakarta. 233 halaman.
Kartasapoetra. 1992. Teknologi Konservasi Tanah dan Air. Jakarta: PT Rineka Cipta 
Kemas Ali. 2005. Dasar-Dasar Kesuburan Tanah. Universitas Lampung. Lampung.
Kurnia Undang, et al. 2006. Sifat Fisika Tanah dan Metode Analisisnya. Balai Besar Litbang Sumberdaya Pertanian. Bogor.
Madjid, A. 2009. Dasar – Dasar Ilmu Tanah. http:// dasar2ilmutanah.blogspot.com. Diakses pada hari selasa tanggal 15 April 2012.
Manik, K. E. S., Afandi, dan Sukarno. 1998. Karakteristik Fisika Tanah pada Perkebunaan Nanas yang Diolah Sangat Intensif di Lampung Tengah. Jurnal Tanah Tropika No 7: 1 – 6.
Munir.1996. Tanah-tanah Utama Indonesia. Dunia Pustaka. Jakarta.
Pasaribu D.A.,  N. Sumarlin, Sumarno, Y. Supriati, R. Saraswati, Sucipto dan S. Karama.  1989.  Penelitian Inokulasi Rhizobium di Indonesia.  Risalah Lokakarya Penelitian Penambatan Nitrogen Secara Hayati pada Kacang-kacangan.  Kerjasama Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Badan Penelitian Pengembangan Pertanian dan Pusat Penelitian dan Pngembangan Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Bogor.
Rahayu, M.  2004.  Pengaruh Pemberian Rhizoplus dan Takaran Urea terhadap Pertumbuhan dan Hasil Kedelai.  Prosiding Seminar Nasional Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marginal Melalui Inovasi Teknologi Tepat Guna.  Pusat Penelitian Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian.  Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.  Departemen Pertanian. 
Rodriquez-Iturbe, I and, P. Amikar. 2004. Ecohydrology of water-controlled          ecosystem: Soil Moisture and Plant Dynamics. London: Cambridge University Press
S. Minardi et al. 2010. Kesuburan Tanah: Sifat Fisika, Kimia, Biologi, dan Pemupukan Tanah. Jurusan Ilmu Tanah FP- UNS. Surakarta. 42 hal.
Saraswati.2004. Indikator Mutu Tanah. Warta Sumber Daya Lahan Vol 1 No. 4. Puslitanak. Bogor.
Sarief, S. 1985. Ilmu Tanah Perian. Pustaka Buana. Bagian Ilmu Tanah. Fakultas Perian UNPAD. Bandung.
Sarief, S. 1995. Ilmu Tanah Umum. Fakultas Pertanian Universitas Padjajaran. Bandung.
Soepardi. 1979. Sifat Dan Ciri Tanah. Departemen Ilmu-Ilmu Tanah Fakultas Pertanian IPB. Bogor.
Sparling.1998. Prospek Pengairan Pertanian Tanaman Semusim Lahan Kering. Jurnal Litbang Pertanian,23(54) halaman130-138
Susanto, Rachman. 2002. Penerapan Pertanian Organik Pemasyarakatan & Pengembangannya. Kanisius. Yogyakarta.
Sutanto, R. 2005. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Yogyakarta: Kanisius 
Sutono. 2009. Kesuburan Tanah Jilid 3. Erlangga. Jakarta.
Tan, Kim. H. 1986. Dasar – Dasar Kimia Tanah. Universitas Gadjah Mada Press. Yogyakarta. Indonesia.
Voroney,R.P., & Vyn,T.J. 2002. Changes in Soil Organic Matter. Agriculture and Agri-Food, Canada.
Wijanarko, A., Sudaryono, dan Sutarno. 2007. Karakteristik Sifat Kimia dan Fisika Tanah Alfisol di Jatim dan Jateng. Iptek Tanaman Pangan.     2(2): 214- 226.

0 komentar:

Posting Komentar