I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dewasa ini, pertanian di Indonesia sedang mengalami keterpurukan khususnya dalam luasan lahan yang dimiliki oleh petani, modal, dan lapangan pekerjaan di luar. Tidak adanya kebijakan dari pemerintah untuk penentuan kepemilikan lahan minimal pada para petani, membuat petani membagi lahannya tanpa pikir panjang. Akhirnya, rata-rata petani di Indonesia hanya memiliki lahan yang sempit, dan tidak dimanfaatkan dengan maksimal. Kondisi petani yang seperti itu sering disebut dengan petani subsisten. Dimana petani subsisten tidak pernah memikirkan kehidupan mereka dalam jangka panjang, mereka hanya memikirkan bagaimana mereka besok mendapat makanan, dan bagaimana mereka dapat hidup esok.
Petani subsisten ini banyak terdapat pada petani pedesaan, dimana berpendapat bahwa arti “hidup berkecukupan” adalah bisa untuk membeli makan setiap hari, dan bisa untuk menyekolahkan anaknya. Oleh karena itu, petani di Indonesia, selalu dipandang kelas bawah karena lahannya yang kecil, serta kehidupannya yang dibawah rata-rata dalam mencapai kesejahteraan hidup. Kesejahteraan hidup petani akan tercapai apabila pemerintah membuat peraturan perundang-undangan yang membahas tentang kepemilikan luas lahan pertanian minimal bagi para petani.
Dengan pola hidup seperti ini, akan mengurangi pasokan beras di Indonesia, sehingga Indonesia harus mengimpor dari luar negeri untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah kehidupan anggota petani di Indonesia ?
2. Apakah yang dimaksud dengan petani subsisten ?
3. Bagaimanakah corak kehidupan pertanian subsisten ?
4. Bagaimana perilaku ekonomi petani subsisten ?
C. Tujuan
1. Mengetahui kehidupan anggota petnai di Indonesia
2. Mengetahui apa yang dimaksud dengan petani subsisten
3. Mengetahui corak kehidupan pertanian subsisten
4. Mengetahui perilaku ekonomi dari petani subsisten
II. PEMBAHASAN
Menurut RH Tawney (1966:77 dalam Scott, 1976:1) memberikan ilustrasi kehidupan petani sebagai berikut :
Ada daerah-daerah di mana posisi penduduk pedesaan ibarat orang yang selamanya berdiri terendam dalam air sampai ke leher, sehingga ombak yang kecil sekalipun sudah cukup untuk mengenggelamkannya. Gambaran tersebut sesuai / berlaku pada nasib kaum petani di Jawa Timur, dan Jawa Tengah pada awal abad ke 20.
Pengertian petani subsisten yang telah disepakati pada seminar petani kecil di Jakarta pada tahun 1979 (BPLPP, 1979), adalah:
1. Petani yang pendapatannya rendah, yaitu kurang dari setara 240 kg beras per kapita per tahun.
2. Petani yang memiliki lahan sempit, yaitu lebih kecil dari 0,25 hektar lahan sawah di Jawa atau 0,5 hektar di luar Jawa. Bila petani tersebut juga mempunyai lahan tegal, maka luasnya 0,5 hektar di Jawa dan 1,0 hektar di luar Jawa.
3. Petani yang kekurangan modal dan memiliki tabungan yang terbatas.
4. Petani yang memiliki pengetahuan terbatas dan kurang dinamis.
Secara umum, di setiap bagian di dunia, kaum tani menjadi faktor yang konservarif di dalam perubahan sosial, rem dalam revolusi, pengecek dalam disintegrasi dalam masyarakat lokal yang kadang-kadang datang dengan perubahan teknologis yang sangat cepat. Orang-orang yang sudah mapan, maka petani mendapatkan dalam hidup adanya tujuan dan semangat karena telah menafsirkan alam dan arti penderitaan dan kesenangan dan kematian mendapatkan perumusan kembali dalam kerja dan permainannya setiap hari. Dengan demikian, keadaan umum kehidupan petani ternyata tidaklah mengenyampingkan pengaruh-pengaruh lain terhadap karakter akan tetapi juga mengatur orang menuju penilaian yang lebih menahan diri.
Petani sering diterpa cuaca buruk dan tuntutan-tuntutan pihak luar dan tidak menerapkan ilmu hitung keuntungan maksimal menurut ilmu ekonomi neo-klasik. Teori klasik menyatakan bahwa jumlah hasil yang dijual ke pasar oleh rumahtangga petani akan tergantung pada tingkat harga produk, yaitu semakin tinggi harga produk maka akan semakin besar jumlah produk yang dijual. Namun, untuk produk komoditas subsisten ini pertimbangan harga produk tersebut bukan satu-satunya pertimbangan petani untuk memutuskan besaran jumlah barang yang dijual kepasar tetapi masih akan mempertimbangkan pula harga barang kebutuhan lain yang tidak diproduksi oleh rumahtangga petani tersebut, Dengan kata lain dapat disebutkan bahwa besaran jumlah hasil yang dijual ke pasar tersebut akan tergantung pada besarnya kebutuhan uang tunai untuk membeli produk barang atau jasa yang tidak dihasilkan oleh rumahtangga petani tersebut. Semakin tinggi harga beras relatif terhadap harga barang lain maka semakin sedikit jumlah produk yang dijual ke pasar karena mampu untuk membeli barang lain dengan hanya menjual beras sejumlah itu. Sebaliknya semakin rendah harga beras relatif terhadap barang lain maka petani akan menjual semakin banyak beras agar mampu membeli barang lain yang dibutuhkan rumahtangganya. Dengan demikian jika harga beras relatif lebih rendah dari harga barang lain maka kemampuan rumahtangga petani untuk membeli barang lain menurun yang berarti pula menurun tingkat kesejahteraannya. Namun, ditinjau dari ketersediaan beras di pasar akan meningkat karena petani menjual lebih banyak berasnya ke pasar. Yang dilakukan petani bercocok tanam adalah berusaha menghindari kegagalan berusaha tani yang akan menghancurkan kehidupannya dan bukan untuk mencari keuntungan dengan cara mengambil resiko. Karena itu petani disebut enggan resiko atau petani subsisten.
Sikap menghindari resiko itu juga dikemukakan untuk menjelaskan mengapa petani lebih suka menanam tanaman subsistensi (contohnya, padi, dan tanaman palawija) daripada tanaman bukan pangan (contohnya cabai, tembakau, tanaman hortikultura, dan lain-lain) yang hasilnya untuk dijual. Rasional sekali bagi petani-petani di negeri-negeri yang terlalu padat penduduknya yang mempunyai margin yang kecil untuk mengambil risiko di atas tingkat subsistensif mereka, untuk merasa puas dengan hasil yang lebih rendah dari produksi subsistensi.
Keluarga-keluarga petani yang harus hidup dari hasil lahan-lahan yang kecil di daerah-daerah yang terlalu padat penduduknya akan bekerja keras dan lama (apabila tidak ada pilihan lain) untuk memperoleh tambahan yang meskipun hasilnya kecil dalam produksi mereka jauh dari seorang kapitalis yang mereka tidak akan bersedia untuk melangkah lebih lanjut.
Oleh karena tenaga kerja yang seringkali merupakan satu-satunya faktor produksi yang dimiliki petani secara relatif melimpah, maka mungkin ia akan terpaksa melakukan kegiatan-kegiatan yang memerlukan banyak kerja dengan hasil yang sangat kecil, sampai kebutuhan-kebutuhan subsistensinya terpenuhi.
Perilaku ekonomis keluarga petani yang berotientasi subsistensi berbeda dari perusahaan kapitalis. Keluarga petani subsisten merupakan unit konsumsi dan sekaligus unit produksi. Keluarga petani yang dekat dengan batas subsistensi mengutamakan apa yang di anggap aman dan dapat diandalkan daripada keuntungan yang dapat diperoleh dalam jangka panjang. Hal ini dilakukan karena petani menghadapi situasi kekurangan lahan, modal, dan lapangan kerja di luar.
Petani subsisten seringkali tidak saja menjual hasil produksinya dengan harga berapa saja asal laku, tetapi seringkali membayar harga sewa tanah di atas harga yang lazim menuntut investasi kapitalis. Membayar harga sewa yang sangat tinggi untuk tanah, menurut istilah Chayanov “hunger rents”. Petani berani membayar harga tinggi selama tambahan tanah itu menambah isi periuk nasi dengan berapa saja. Semakin kecil lahan yang dimiliki suatu keluarga, semakin besar keluarga itu akan berani membayar untuk sebidang lahan tambahan/ satu proses persaingan yang dapat menyingkirkan pertaniana kapitalis yang tidak dapat bersaing dengan cara-cara demikian.
Untuk menjamin bagi diri mereka satu subsistensi pokok, satu orientasi yang bisa tidak bisa harus memusatkan segenap perhatian kepada kebutuhan hari ini saja tanpa memikirkan hari esok, maka petani kadang-kadan terpaksa harus menggadaikan masa depannya sendiri. Satu panen yang gagal dapat memaksa mereka untuk menjual seluruh atau sebagian dari tanah mereka yang sudah kecil itu atau hewan penarik bajak mereka. Apabila kegagalan itu meliputi daerah yang luas, mereka harus menjual dalam suasana panik dan dengan harga yang sangat rendah. Akibatnya bisa tragis dan sekaligus tak masuk akal.
Keharusan memenuhi kebutuhan subsistensi keluarga, yang mengatasi segala-galanya, seringkali memaksa petnai tidak saja menjual dengan harga berapa saja asal laku, akan tetapi juga membayar lebih jika membeli atau menyewa tanah, lebih besar dari apa yang lazim menurut kriteria investasi kapitalis. Seorang petani yang kekurangan tanah, yang mempunyai keluaraga besar dan tidak dapat menambah penghasilannya dengan melakukan pekerjaan-pekerjaan lain, seringkali berani membayar harga yang sangat tinggi untuk tanah, atau “hunger rents” menurut istilah Chayanov, selama tambahan tanah itu dapat dapat menambah isi periuk nasi dengan beberapa saja. Sesungguhnya, semakin kecil yang dimiliki satu keluarg, semakin besar keluarga itu akan berani membayar untuk sebidang lahan tambahan.
Perilaku ekonomis petani yang sedemikian itu telah dapat dipahami secara lebih baik sebagai satu kasus khusus dari apa yang dapat diramalkan oleh teori mikroekinimi yang baku. Bahwasanya orang terus menggunakan tenaga kerjanya di bidang-bidang pertanian dan menggunakan tenaga kerjanya di bidang-bidan pertanian dan kerajinan tangan. Umpamanya, merupakan akibat dari opportunity cost atau tingkat kesempatan tenaga kerja yang rendah bagi petani (artinya, sedikit sekali kesempatan kerja di luar) dan marginal utility atau guna baatas yang tinggi dari penghasilan bagi orang-orang yang hidup dekat tingat batas subsistensi.
III. PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Kaum petani merupakan faktor utama yang konservatif di dalam perubahan sosial.
2. Tujuan dan semangat yang dimiliki oleh para petani merupakan hasil dari pengalaman yang didapatkan sebelumnya.
3. Petani subsisten cenderung akan lebih memilih menanam komoditas yang dianggap memiliki risiko kecil.
4. Petani subsisten hanya berusaha untuk menghindari kegagalan berusahatani dan bukan untuk mencari keuntungan.
5. Sifat ekonomi subsisten yang dimiliki oleh petani adalah lebih mandahulukan keselamatan komoditas yang ditanamnya dari pada besar keuntungan yang didapatkan.
IV. DAFTAR PUSTAKA
Scott, James. 1981. Moral Ekonomi Petani.Hasan Basari, penerjemah ; Bur Rasuanto, editor. Jakarta : LP3ES. Terjemah dari : The Moral Ekonomy of the peasant.
www.ekonomirakyat.org
http://witrianto.blogdetik.com
http://marx83.wordpress.com
0 komentar:
Posting Komentar